Ketika Aku Mulai Dicurigai


Aku pernah dicurigai, oleh seseorang yang dulu sangat kuhormati. Sekarang tentu tidak, melihat wajahnya saja aku muak. Bukan karena dia jelek, dia cukup cantik, bahkan dulu aku juga kagum dengan kecantikan yang dimilikinya. Namun siapa sangka perilakunya terhadapku sangat mengecewakan. Aku tidak tahu mengapa dia begitu terlihat menyepelekan aku. Iya memang benar, aku ini bukanlah orang yang mampu, aku juga selama hidupku belum pernah keluar kota sendirian, dan saat itu aku baru kali pertamanya menjadi anak rantauan, wajar dong kalau aku tidak memiliki benda-benda yang dimintanya sebagai persyaratan apalah itu. Kalaupun aku punya aku juga akan dengan senang hati membawanya, dan sayangnya aku tidak punya. Kuceritakan sedikit, jujur aku bukan tipe orang pendendam hingga akhirnya aku bisa hidup dengan tenang bila dendamku telah terbalas. Sama sekali tidak terbesit pikiran seperti itu. Tapi aku orang yang suka mengingat sesuatu, apalagi hal yang berkesan, dan kejadian itu sungguh berkesan meski berkesan yang menyakitkan. Aku ditugasi membawa property dengan salah satu temanku yang dekat denganku, sebab kami tinggal di kos-kosan yang lumayan dekat dengan tempat kejadian. Tak apalah aku bawa, toh tidak begitu berat dan aku masih mampu.
Malam itu aku membawanya, semua yang dibutuhkan tanpa terkecuali, bahkan aku juga menyumbang beberapa bahan lainnya yang tidak ada namun dibutuhkan, kurang baik apa aku? Kala itu aku belum begitu muak dengannya meski sudah agak berubah persepsiku terhadapnya. Aku masih menghormatinya,tapi aku sedikit membencinya karena alasan dia yang selalu memandang tinggi satu orang yang bahkan jarang sekali bersama kita, dan memandang yang lainnya rendah terutama aku. Itu belum seberapa, malam itu kami semua berkumpul mempersiapkan diri, kami saling membantu menghias diri dengan berbagai property yang telah kami buat bersama. Aku juga membantu orang yang dianggap tinggi itu, ia terkenal pandai namun sangat sombong, bahkan sampai sekarang kami tidak pernah saling sapa.
Tinggalkan orang sombong, kesombongannya tidak akan berpengaruh pada hidupku. Kembali pada orang yang memuakkan ini. Aku lupa benda apa yang dia cari kala itu. sesuatu yang tidak ada kaitannya denganku, mungkin saja ada kaitannya dengan property, tapi apa salahku? Aku saja tidak menyentuhnya dan property yang tadinya aku bawa juga sudah berada di luar tasku. Aku menaruh tasku di dekat dinding, bersandar di sana. Ia mencurigaiku, bahkan bisa dibilang memfitnahku meski tidak secara langsung, namun ia melakukannya di depanku dan yang lainnya. Parahnya itu hanya aku, HANYA AKU. Awalnya ia bertanya-tanya siapa yang melihat benda apalah itu, tidak ada yang tahu, aku pun tidak tahu. Kemudian ia mencari dan membuka tasku, TASKU DIBUKA SEOLAH AKU MENCURINYA. Aku melihat itu meski jarakku dengannya agak jauh. aku sedang membantu temanku menempel property tapi aku melihatnya. Aku hanya bisa melihat dan membiarkannya, karena aku tidak menaruh apa-apa di dalam tasku, apalagi bukan milikku. Dia tidak bisa menemukannya di sana. Semenjak saat itu aku menjadi muak dengannya, meski aku masih saja menyapanya jika bertemu, karena dia tingkatannya lebih tinggi dariku. Tapi jujur aku sangat membencinya,. Aku benci cara ia mnatapku, cara ia tersenyum kepadaku lalu memanggil namaku. Oh sungguh persetan, seolah dia tidak ingat apa yang telah dia perbuat dulu.

Kesalahpahaman



Salah paham, mungkin semua orang pernah merasakannya atau melihatnya. Namun tahukah bagaimana rasanya berada dalam posisi kesalahpahaman itu sendiri. Terlibat di dalamnya dan inti dari masalah itu tertuju pada diri kita. Menyebalkan? Tentu, marah? Iyalah kenapa tidak. Itulah yang aku rasakan saat ini, berada di posisi yang tidak kita inginkan, dan tidak mampu menunjukkan kebenarannya, sulit untuk keluar dari zona kesalahpahaman ini. Aku memilih diam, bukan diam yang berarti kalah. Aku tidak mau mempersulit keadaan. Sesungguhnya aku ingin semua jelas dan sama dengan kenyataan yang ada, bukan seperti ini. Tapi aku bisa apa selain diam? Mau ngomong mengumbar-umbar? itu akan terlihat seolah memang benar aku inti dari permasalahannya. Kenapa harus aku? Kenapa bisa terjadi? Sial!

Aku menyimpannya sendirian, bahkan ketika aku mau menceritakan semuanya, aku tidak tahu harus memulai dari mana, terlalu panjang dan tidak akan mudah orang lain memahami. Yang bisa kulakukan saat ini hanyalah mengumpat sejadi-jadinya, tentu di dalam hati. Tidak mungkin secara frontal aku berteriak keras mengumpat-ngumpat di sini. Di tempat bukan wilayahku, bisa dikira orang stress nantinya. Tuhan, Engkau tahu sedangkan mereka tidak, kuatkanlah hambamu ini. Aku manusia, seorang perasa yang memiliki rasa dan perasaan. Tatapan mata mereka mampu kurasa. Tidak perlu berhenti berbicara ketika aku lewat, tidak perlu mengalihkan pandangan ketika lama telah memandang sinis padaku, aku tahu. Meskipun sebelumnya kita mampu bercanda tanpa batas, meski dulu kau sering keluar masuk pintu itu. Kini aku yakin, tidak semudah itu untuk kembali. Bukan salahku, juga bukan salahmu. Hanyalah kesalahpahaman yang kau mulai dengan dugaan.

Seharusnya kau mencari tahu akan hal yang benar, bukan menyebar hal yang kau tidak ketahui salah atau benar. Aku tahu kau tidak berniat seperti itu, tapi dengan begitu kau membuatku menjadi pelaku. Kau secara tidak langsung mengasingkanku dari dunia sebelumnya.

Kemudian aku mulai enggan menatapmu, mulai enggan menyapa dirimu. Aku muak dengan keberadaanmu, seolah kaulah biang semua masalah yang tertuju padaku. Bukan kau saja yang kesal, aku juga! Malah lebih dari kesal. Kalau saja aku tahu begini, maka kala itu aku lebih baik bersikap tidak ramah. Bersikap seolah-olah ada gap di antara kita. Itu memudahkanku untuk tidak terlibat dalam suatu kesalahpahaman. Mengertilah, bukan berarti aku membencimu. Aku kesal telah dijadikan objek sasaran negative. Belajarlah untuk mencari tahu dahulu sebelum memberi tahu.

13-03-2016

Rinduku Tak Tahu Malu


Kuambil sepotong lirik dari lagu milik band Letto yang berjudul “Hantui Aku”. Karena menurutku kalimat Rinduku Tak Tahu Malu sangat enak untuk diucap apalagi sesuai dengan perasaanku saat ini. Rindu kepada malaikat tak bersayap yang menghabiskan umur tuanya demi kebaikanku, ups bukan.. bukan hanya aku, namun lima orang anak. Dengan pengabdian tanpa meminta imbalan beliau lakukan setulus hatinya, didampingi sesosok pemimpin keluarga. Kata rindu begitu jauh dengan ku selama ini, 18 tahun terakhirku tak pernah ku merasa rindu kepada beliau. Semenjak aku menjadi anak rantauan yang jauh dari kampung halaman, dan jarang mendapat teguran secara langsung dari beliau, aku mulai mengerti arti kata rindu yang sesungguhnya. Namun rindu itu tak mampu kubendung hanya dengan berbicara via telepon atau saling berkirim pesan singkat. Aku mencari obat untuk mengatasi rasa rindu ini, Ya Allah begitu sulit menghilangkannya dan yang kupinta hanyalah bertatap muka dan memeluk tubuh beliau yang semakin tua dan rentan itu. Aku mencoba memandangi fotonya yang terpampang di layar laptopku berdampingan dengan sang pemimpin dan diriku berada di tengah mereka. Semakin lama ku memandang, justru air mata yang keluar dari pelupuk mataku, membasahi pipi dan aku sesenggukan menahan rasa rindu ini. Oh.. Ya Allah, kapankah aku bisa memeluk mereka berdua, mencium tangannya dan membelai rambut putihnya. Kapan lagi, dan jawabannya adalah sabar, tentu aku harus bersabar karena disini, di kota orang aku menuntut ilmu. Mereka menaruh harapan besar kepadaku dan tidak mungkin aku membakar harapan itu dan menghanguskannya begitu saja. Hari-hari kulewati dengan penuh kesabaran, menunggu hari dimana aku bisa pulang dan bertemu mereka. Tanpa sadar aku meneteskan air mata lagi, bahkan ketika aku hanya memejamkan mata dan membayangkan mereka melintas di hadapanku, tersenyum memanggil namaku dengan lembut, dan membelai rambutku. Mendoakan setiap langkah yang kupilih dan menyemangati disaat aku kehilangan asa. Oh ibu… oh ayah… tahukah kalian, anakmu ini, detik ini juga sedang menangis merindukan kalian. Aku tidak berbohong, air mata ini semakin banyak, aku tak mampu menahannya karena itu membuat kerongkonganku terasa sangat sakit. Ketika aku pulang nanti, aku ingin sekali mengatakan bahwa aku menyayangi kalian lebih dari apapun. Namun betapa sulit mulut ini untuk berucap, berkali-kali aku berlatih namun setiap berada di hadapan kalian mulut ini kelu, terbungkam dan tak mampu berkata-kata kecuali merangkul kalian. Ibu.. ayah.. maafkan jika aku berlebihan merindukan keberadaanmu disana. Di kota Kudus tercinta, disini aku selalu mendoakan kalian agar diberi kesehatan dan umur panjang yang bermanfaat. Dan selalu berada di dalam lindunganNya. Aamiin.. aamiin ya rabbalalamiin.

wisuda sendiri di
 rumah
ibu, anakmu, rindu